Perjuangan perempuan dan kelompok-kelompok minoritas tertentu untuk menentang segala bentuk diskriminasi. Momentum besarnya terjadi pada tahun 1984 dengan diratifikasinya CEDAW oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konvensi ini diskriminasi merupakan bentuk pembedaan, pengucilan, dan pembatasan yang di buat atas dasar jenis kelamin yang memiliki pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau pembatasan atas pengakuan. Bukan hanya itu, konvensi ini juga menghapuskan penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia. Usia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Meski konvensi tersebut telah diratifikasi pemerintah Indonesia, hingga saat ini kondisi perempuan secara umum masih sangatlah memprihatinkan. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) 2020 lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak, dan pembatasan penanganan terhadap COVID -19 masih manjadi catatan penting negeri ini. Ada beberapa jenis kekerasan seksual yang ditemukan oleh Komnas Perempuan, diantaranya adalah pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi tidak aman, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Kondisi pandemic juga berbuntut pada banyak perempuan terpaksa menikah di bawah umur, menanggung beban ekonomi dengan mencari kehidupan sebagai buruh migran atau terjun ke situasi pelacuran, dan terancam kematian akibat tiadanya perlindungan terhadap hak-hak dan Kesehatan reproduksi, seperti tercermin dengan banyaknya kematian perempuan melahirkan akibat tidak adanya atau minimnya sarana atau pelayanan Kesehatan. Dan Sebagian besar kematian perempuan adalah akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dimana negara tidak memberikan solusi yang tepat guna menghormati hak-hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya dan menikmati kesehatannya termasuk hak-hak kesehatan reproduksi.
Dampak peristiwa tersebut suatu hal yang membekas (trauma) dan stress yang dialami oleh korban kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Kondisi ini dapat mengganggu fungsi perkembangan otak dan perkembangan psikologis yang dapat memperpanjang mata rantai kekerasan baik di ranah domestic maupun public dari penyintas kekerasan seksual. Selain itu, kekerasan dan dan pelecehan seksual pada remaja juga merupakan factor utama penularan Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu, penyintas kekerasan seksual tentunya akan berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan, bahkan dapat pula berujung pada kematian. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka PKBI melalui Program RESPOND memiliki mandatori untuk dapat memberikan layanan reproduksi bagi kelompok yang
terabaikan dalam mengakses layanan yang memadai. Selain itu, salah satu aktifitas yang juga mendukung adalah memberikan layanan Kesehatan dan alur layanan yang aman bagi penyintas kekerasan berbasis gender.
Kegiatan bertempat di Hotel Odua Weston yang menyampaikan bahwa tujuan kegiatan Pertemuan Koordinasi Kader dan Penyedia Layanan SGBV Program RESPOND adalah Tersosialisasikannya Project RESPOND, Membangun dukungan dalam menyukseskan Project RESPOND khususnya di isu SGBV dan Menjalin kerjasama dan kolaborasi bersama semua pihak yang terlibat.
Adapun rencana tindak lanjut dariĀ pertemuan ini Adanya dukungan dari berbagai pihak yang hadir dalam menyukseskan kegiatan ini dan Terjalinnya kerjasama yang baik dan adanya sistem alur rujukan antara PKBI Daerah Jambi dengan kader dan penyedia layanan SGBV